berita PAKKI
https://2.pakki.org/storage/artikel/787-construction-image.jpg

Kecelakaan Kerja Konstruksi Masih Mengancam di 2025, Perlu Evaluasi Sistemik dan Kepemimpinan K3 yang Kuat

Jakarta, 13 Juni 2025 — Meski proyek infrastruktur di Indonesia terus berkembang pesat, ancaman kecelakaan kerja di sektor ko...

13 Juni 2025 | Konten ini diproduksi oleh A2K4

Jakarta, 13 Juni 2025 — Meski proyek infrastruktur di Indonesia terus berkembang pesat, ancaman kecelakaan kerja di sektor konstruksi masih menjadi tantangan serius. Data historis mencatat bahwa tahun 2017 merupakan salah satu periode terburuk dalam hal kecelakaan kerja konstruksi infrastruktur jalan dan jembatan, dengan banyak insiden runtuhnya girder dan tergulingnya alat angkat crane.


Seiring dengan meningkatnya pembangunan jalan tol, jembatan, hingga infrastruktur strategis lainnya dalam Program Pembangunan Nasional, kasus-kasus kecelakaan kerja yang mirip kembali terjadi di beberapa wilayah selama dua tahun terakhir, bahkan hingga awal 2025.


Lazuardi Nurdin, Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4-Indonesia), menyampaikan bahwa kasus-kasus kecelakaan kerja konstruksi masih didominasi oleh insiden serupa seperti yang pernah terjadi pada 2017 lalu.


“Kecelakaan akibat runtuhnya girder, tergulingnya crane, hingga jatuhnya pekerja dari ketinggian masih sering ditemukan di beberapa proyek besar. Ironisnya, jenis kecelakaan yang sama terus berulang karena akar masalahnya belum ditangani secara tuntas dan sistemik,” ungkap Lazuardi dalam diskusi nasional K3 Konstruksi, Kamis (13/6/2025).


Infrastruktur Berkembang, Risiko Meningkat


Selama periode pemerintahan saat ini, pembangunan infrastruktur nasional memang terus digencarkan, melanjutkan capaian era Presiden Joko Widodo yang antara 2015–2017 berhasil membangun lebih dari 2.600 kilometer jalan baru. Di periode 2020–2025, pemerintah menargetkan tambahan lebih dari 3.000 kilometer jalan tol dan nasional, termasuk berbagai proyek strategis nasional seperti jalan layang, bandara, dan pelabuhan.


Namun, tingginya volume proyek konstruksi tanpa penguatan budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja fatal, yang bukan hanya merenggut nyawa pekerja, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi besar dan keterlambatan proyek.


“Jika akar penyebab kecelakaan tidak segera diperbaiki, risiko kecelakaan kerja konstruksi di Indonesia akan terus berulang. Terlebih saat ini, penggunaan teknologi alat berat dan metode konstruksi pracetak yang cepat belum diimbangi dengan manajemen risiko K3 yang andal di lapangan,” tambah Lazuardi.


Rekomendasi A2K4-Indonesia untuk 2025


Melihat masih tingginya angka kecelakaan kerja di sektor konstruksi, A2K4-Indonesia kembali menegaskan pentingnya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi secara menyeluruh dan konsisten di semua lini proyek.


Beberapa rekomendasi yang kembali ditekankan pada 2025 ini antara lain:


Penguatan Kepemimpinan dan Akuntabilitas K3


  • Setiap pemimpin proyek wajib menjadi role model dalam budaya keselamatan.
  • Adanya pengawasan langsung dari pemilik proyek dan pemerintah daerah.


Penerapan Manajemen Risiko K3 Secara Konsisten


  • Identifikasi bahaya dan penilaian risiko dilakukan secara rutin, bukan hanya di awal proyek.
  • Wajib adanya audit K3 independen sebelum dan selama masa konstruksi.


Penciptaan Iklim dan Budaya K3


  • Melibatkan semua pekerja dalam pelatihan K3 secara berkelanjutan.
  • Program zero accident diterapkan bukan hanya sebagai slogan, tapi komitmen nyata.


K3 Menjadi Tanggung Jawab Bersama


  • Tidak hanya kontraktor, tetapi pemilik proyek, konsultan pengawas, hingga supplier alat berat turut bertanggung jawab dalam menjaga standar keselamatan kerja.


Penutup

Dengan intensitas pembangunan infrastruktur yang terus berjalan hingga 2025, Indonesia dituntut untuk tidak hanya mengejar target kilometer jalan atau jembatan, tetapi juga memastikan keselamatan pekerja yang menjadi garda terdepan proyek.

Sudah saatnya semua pihak bergerak bersama, tidak sekadar bereaksi saat kecelakaan terjadi, tetapi aktif melakukan pencegahan berbasis manajemen risiko yang terukur, evaluasi teknis, dan kepemimpinan K3 yang kuat di setiap proyek.